Akan sangat
tidak berguna jika kita membicarakan masalah ini dengan orang yang mudah “maklum”.
Mungkin akan dicibir, dikecam dan dianggap aneh karena tidak sejalan dengan
kehendak nafsu mereka.
Eiiitt.. Jangan
ngeres dulu..! Yang dimaksud “kemaluan” di sini adalah kata sifat (bukan kata benda).
Yang perlu digasirbawahi dari tulisan ini adalah tentang konyolnya Industry
Music di Negeri ini yang semakin memprihatinkan, serta adanya revolusi standar
sikap dan perilaku (kalau gak boleh bilang degradasi moral) manusianya.
Kombinasi dari dua hal tersebut menjadi sinergi yang dahsyat (bukan inbox)
untuk meningkatkan level kebrobrokan generasi bangsa ini.
Diawali sejak
nongolnya Peterpan dan kemudian Kangen Band, seakan melenyapkan keberadaan
band-band/ solois pendahulunya yang secara musical maupun attitude
lebih berkualitas. Musisi-musisi sejati yang peka dan peduli dengan keadaan itu
satu-persatu hilang (atau mungkin sengaja dihilangkan?) tergusur oleh
pendatang baru tersebut. Hanya beberapa band/ solois saja yang kebal dengan
kondisi itu.
Setiap hal
punya tempatnya di dunia ini. Jika kita membuktikan sedikit dari kekuatan kita
kepada sebagian besar kelemahan orang lain (dalam hal selera, kecerdasan, daya
kritis dan evaluasi yang rendah), yang terjadi adalah pembodohan massal. Mengingat
ciri-ciri manusia di Negeri ini yang haus hiburan, mudah kagum dan lantas
mengagungkan.
Tidak dapat diingkari,
bahwa manusia di negeri (yang wow..!!) ini umumnya menggunakan
standar yang keliru. Selama banyak yang melakukan dan dijalankan secara continue,
maka terciptalah standar baru. Begitu seterusnya dan selalu begitu. Mereka secara
tidak langsung menghimpun kekuatan dan dengan
pekok-nya berjuang sekuat tenaga mempertahankan prinsip dari standar
tersebut untuk kepentingan diri mereka sendiri dan memandang rendah pada apa
yang sebenarnya berharga dalam hidup. Kita akan semakin gemes jika
memperhatikan unggah-ungguh pemuda Negeri “tersayang” ini yang
sudah gak pake tatanan wariju. Mereka mempunyai kadar labilitas
tingkat dewa. Esok beras sore ketan (pagi waras sore edan).
Para produser
Major Label tentu sangat antusias dan sangat berharap agar terjaga standar
kemanusiaan yang unik ini, karena “kacang goreng” hasil
produksinya bakal laris manis dilahap habis oleh para pengguna standar tersebut
meskipun hanya bersifat selayaknya pasar kaget.
Kedua band yang
disebut di atas adalah yang dianggap sebagai ikon Revolusi dalam industry
music Indonesia. Band yang disebut kedua punya peranan besar terhadap munculnya
band-band kacang goreng selanjutnya. Kisah cerita kehidupan para personilnya
juga sangat inspiratif. Mereka nekat berjuang melawan rasa malu (bukan takut),
bahwa mereka mampu eksis dengan kemampuan musical yang ala kadarnya (mereka
menyadari itu lho..!) dan dipadu dengan lyric ala dahsyat
yang menyayat empedu. Hasilnya terbilang jitu. Dampak paling nyata adalah banyaknya
anak yang dulunya lugu sekarang mengklaim diri sebagai “anak band”. Pasalnya,
mereka merasa dapat melakukan seperti yang dilakukan band terkenal itu. Tak
jarang mereka juga membandingkan kisah kehidupannya dengan kisah para personil
band tersebut, bahkan mereka tanpa ragu bilang “kalau kangen band saja bisa
rekaman, kenapa kita tidak?”. Di satu sisi benar juga kata mereka. Bahkan
skill bermusik mereka mungkin lebih canggih dari band terkenal itu. Tapi di
sisi lain, mereka mengabaikan esensi bermusik yang shahih. Mereka tidak peduli
adanya tata krama/ unggah-ungguh dalam bermusik. Mereka
sangat bernafsu dan tanpa rasa malu ingin jadi anak band yang bisa rekaman,
terkenal, dan banyak cewek yang terpikat. Nah lo..!! Mereka menjadikan musik
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kelamin. Kalau begini caranya apa gak
durhaka terhadap musik itu namanya? Lantas apa bedanya dengan pelacur? Jika Menguasai
diri sendiri saja belum mampu, bagaimana manguasai panggung? Nanti
ujung-ujungnya lipsync, dan penggemarnya pun enjoy saja dengan idola
yang seperti tuna wicara itu.
Lain lagi
dengan fenomena boy/girlband. Lagi-lagi pak produser cerdas memanfaatkan
keunikan standar manusia di Negeri ini. Bukan lagi kacang goreng yang dijual,
melainkan sekumpulan pemuda bertampang ganteng (kata ibu-ibu yang suka
mejeng sambil nunggu tukang sembako keliling/tereng sih begitu..) pemakan sonice
yang cukup dengan menghafal gerakan yang tertib (gak harus bisa nyanyi
kok..), maka cewek-cewek akan histeris. Bagi yang doyan sama “paha”,
pemirsa yang (kebetulan) budiman dapat menikmati hidangan Girlband. Memang,
nyaris gak ada yang special dari para gerombolan ini kecuali “paha”nya. Semua
terlalu dibuat-buat, mungkin jika di eksplorasi dari 100% talentanya pun hanya
mampu memberi kontribusi gak lebih 50% dari standar untuk menjalani profesi
fenomenal yang mereka jalani itu. Beda lagi jika mereka melakukannya dalam
dunia koreografi, dancer, pantomime atau semacam gerakan gitu, mungkin bisa
mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, bahkan lebih 100% dari talenta
alaminya (bonus paha soalnya..). Masalahnya mereka berada
di ladang musik yang hanya akan menurunkan kualitas hasil panen (karya
musik)-nya. Peran mereka tak ubahnya seperti hama wereng saja. Sesaat
memang sangat menakjubkan. Tapi, semua yang dibuat-buat akan kehilangan rasa
alaminya.
Semua itu
sebagian dari peranan signifikan dalam rangka mendegradasikan level kecerdasan,
daya kritis dan evaluasi terhadap mutu kreatifitas manusia di Negeri ini. Tapi
gak mungkin juga kalau menuntut mereka bertanggung jawab atas dampak dari
keberadaan mereka di dunia Entertain. Kebijakan para pemimpin kita juga
gak bisa diharapkan. Ngatasi pembajakan aja gak niat, apalagi untuk perbaikan
standar yang terlalu progress, abstrak dan ghaib seperti itu? Semoga bapak/ibu/saudara/i
produsen eh.. produser tahu dan peduli dengan kondisi Negeri yang kacau balau
ini, sehingga lebih selektif dari segi musical maupun attitude
dalam mengorbitkan musisi (band/ solois) selanjutnya demi meninggikan level standar
seperti yang saya singgung di atas. Alangkah lebih baik jika musisinya juga menata
ulang niat bermusiknya dan dapat menjaga jiwa tetap waras serta menjaga kemaluannya
(eh.. rasa malu maksudnya) dengan selalu mengasah skill dan
mengevaluasi diri sampai level mana dan seberapa pantas untuk menjadi buruh di ladang
musik dengan kualitas panen yang super? Rasa malu itu punya peran sangat penting
pada diri seseorang dalam mengaplikasikan talentanya secara arif dan bijaksana.
Semoga yah. Saya hanya bisa berdo’a saja lah..! (miB)
0 Guneman:
Posting Komentar