Pages

Kamis, 20 Juni 2013

JIKA KEMALUAN TAKLUK KEPADA KEMAUAN


Akan sangat tidak berguna jika kita membicarakan masalah ini dengan orang yang mudah “maklum”. Mungkin akan dicibir, dikecam dan dianggap aneh karena tidak sejalan dengan kehendak nafsu mereka.
Eiiitt.. Jangan ngeres dulu..! Yang dimaksud “kemaluan” di sini adalah kata sifat (bukan kata benda). Yang perlu digasirbawahi dari tulisan ini adalah tentang konyolnya Industry Music di Negeri ini yang semakin memprihatinkan, serta adanya revolusi standar sikap dan perilaku (kalau gak boleh bilang degradasi moral) manusianya. Kombinasi dari dua hal tersebut menjadi sinergi yang dahsyat (bukan inbox) untuk meningkatkan level kebrobrokan generasi bangsa ini.
Diawali sejak nongolnya Peterpan dan kemudian Kangen Band, seakan melenyapkan keberadaan band-band/ solois pendahulunya yang secara musical maupun attitude lebih berkualitas. Musisi-musisi sejati yang peka dan peduli dengan keadaan itu satu-persatu hilang (atau mungkin sengaja dihilangkan?) tergusur oleh pendatang baru tersebut. Hanya beberapa band/ solois saja yang kebal dengan kondisi itu.
Setiap hal punya tempatnya di dunia ini. Jika kita membuktikan sedikit dari kekuatan kita kepada sebagian besar kelemahan orang lain (dalam hal selera, kecerdasan, daya kritis dan evaluasi yang rendah), yang terjadi adalah pembodohan massal. Mengingat ciri-ciri manusia di Negeri ini yang  haus hiburan, mudah kagum dan lantas mengagungkan.

Tidak dapat diingkari, bahwa manusia di negeri (yang wow..!!) ini umumnya menggunakan standar yang keliru. Selama banyak yang melakukan dan dijalankan secara continue, maka terciptalah standar baru. Begitu seterusnya dan selalu begitu. Mereka secara tidak langsung menghimpun kekuatan dan  dengan pekok-nya berjuang sekuat tenaga mempertahankan prinsip dari standar tersebut untuk kepentingan diri mereka sendiri dan memandang rendah pada apa yang sebenarnya berharga dalam hidup. Kita akan semakin gemes jika memperhatikan unggah-ungguh pemuda Negeri “tersayang” ini yang sudah gak pake tatanan wariju. Mereka mempunyai kadar labilitas tingkat dewa. Esok beras sore ketan (pagi waras sore edan).
Para produser Major Label tentu sangat antusias dan sangat berharap agar terjaga standar kemanusiaan yang unik ini, karena “kacang goreng” hasil produksinya bakal laris manis dilahap habis oleh para pengguna standar tersebut meskipun hanya bersifat selayaknya pasar kaget. 
Kedua band yang disebut di atas adalah yang dianggap sebagai ikon Revolusi dalam industry music Indonesia. Band yang disebut kedua punya peranan besar terhadap munculnya band-band kacang goreng selanjutnya. Kisah cerita kehidupan para personilnya juga sangat inspiratif. Mereka nekat berjuang melawan rasa malu (bukan takut), bahwa mereka mampu eksis dengan kemampuan musical yang ala kadarnya (mereka menyadari itu lho..!) dan dipadu dengan lyric ala dahsyat yang menyayat empedu. Hasilnya terbilang jitu. Dampak paling nyata adalah banyaknya anak yang dulunya lugu sekarang mengklaim diri sebagai “anak band”. Pasalnya, mereka merasa dapat melakukan seperti yang dilakukan band terkenal itu. Tak jarang mereka juga membandingkan kisah kehidupannya dengan kisah para personil band tersebut, bahkan mereka tanpa ragu bilang “kalau kangen band saja bisa rekaman, kenapa kita tidak?”. Di satu sisi benar juga kata mereka. Bahkan skill bermusik mereka mungkin lebih canggih dari band terkenal itu. Tapi di sisi lain, mereka mengabaikan esensi bermusik yang shahih. Mereka tidak peduli adanya tata krama/ unggah-ungguh dalam bermusik. Mereka sangat bernafsu dan tanpa rasa malu ingin jadi anak band yang bisa rekaman, terkenal, dan banyak cewek yang terpikat. Nah lo..!! Mereka menjadikan musik sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kelamin. Kalau begini caranya apa gak durhaka terhadap musik itu namanya? Lantas apa bedanya dengan pelacur? Jika Menguasai diri sendiri saja belum mampu, bagaimana manguasai panggung? Nanti ujung-ujungnya lipsync, dan penggemarnya pun enjoy saja dengan idola yang seperti tuna wicara itu.
Lain lagi dengan fenomena boy/girlband. Lagi-lagi pak produser cerdas memanfaatkan keunikan standar manusia di Negeri ini. Bukan lagi kacang goreng yang dijual, melainkan sekumpulan pemuda bertampang ganteng (kata ibu-ibu yang suka mejeng sambil nunggu tukang sembako keliling/tereng sih begitu..) pemakan sonice yang cukup dengan menghafal gerakan yang tertib (gak harus bisa nyanyi kok..), maka cewek-cewek akan histeris. Bagi yang doyan sama “paha”, pemirsa yang (kebetulan) budiman dapat menikmati hidangan Girlband. Memang, nyaris gak ada yang special dari para gerombolan ini kecuali “paha”nya. Semua terlalu dibuat-buat, mungkin jika di eksplorasi dari 100% talentanya pun hanya mampu memberi kontribusi gak lebih 50% dari standar untuk menjalani profesi fenomenal yang mereka jalani itu. Beda lagi jika mereka melakukannya dalam dunia koreografi, dancer, pantomime atau semacam gerakan gitu, mungkin bisa mengeksplorasi kemampuannya secara optimal, bahkan lebih 100% dari talenta alaminya (bonus paha soalnya..). Masalahnya mereka berada di ladang musik yang hanya akan menurunkan kualitas hasil panen (karya musik)-nya. Peran mereka tak ubahnya seperti hama wereng saja. Sesaat memang sangat menakjubkan. Tapi, semua yang dibuat-buat akan kehilangan rasa alaminya.
Semua itu sebagian dari peranan signifikan dalam rangka mendegradasikan level kecerdasan, daya kritis dan evaluasi terhadap mutu kreatifitas manusia di Negeri ini. Tapi gak mungkin juga kalau menuntut mereka bertanggung jawab atas dampak dari keberadaan mereka di dunia Entertain. Kebijakan para pemimpin kita juga gak bisa diharapkan. Ngatasi pembajakan aja gak niat, apalagi untuk perbaikan standar yang terlalu progress, abstrak dan ghaib seperti itu? Semoga bapak/ibu/saudara/i produsen eh.. produser tahu dan peduli dengan kondisi Negeri yang kacau balau ini, sehingga lebih selektif dari segi musical maupun attitude dalam mengorbitkan musisi (band/ solois) selanjutnya demi meninggikan level standar seperti yang saya singgung di atas. Alangkah lebih baik jika musisinya juga menata ulang niat bermusiknya dan dapat menjaga jiwa tetap waras serta menjaga kemaluannya (eh.. rasa malu maksudnya) dengan selalu mengasah skill dan mengevaluasi diri sampai level mana dan seberapa pantas untuk menjadi buruh di ladang musik dengan kualitas panen yang super? Rasa malu itu punya peran sangat penting pada diri seseorang dalam mengaplikasikan talentanya secara arif dan bijaksana. Semoga yah. Saya hanya bisa berdo’a saja lah..! (miB)

0 Guneman:

Posting Komentar